IMPLEMENTASI NILAI ADIWIYATA SEBAGAI INDIKATOR PEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK

Oleh: Dian Puji Rahayu, S.Pd

CB, TANAH BUMBU Dewasa ini banyak menjadi sorotan tidak hanya oleh media lokal namun juga seluruh media internasional akan isu kerusakan lingkungan. Mengapa begitu banyak pihak yang concern dengan masalah ini? Hal itu disebabkan karena saat ini semakin sering muncul fenomena-fenomena alam yang diakibatkan oleh tangan manusia mulai dari banjir, kekeringan, perubahan musim yang ekstrim, terganggungganya ekositem akibat penggunaan bahan-bahan yang tidak ramah lingkungan, hingga pemanasan global atau yang lebih dikenal dengan istilah “Global Warming”.

Masalah yang menjadi problem global ini disebabkan oleh keegoisan manusia yang hanya mengedepankan kepentingan kapitalisme tanpa peduli efek domino yang diakibatkan. Hutan yang seharusnya menjadi habitat satwa perlahan merangas dan musnah karena kepentingan Individu maupun kelompok. Pembakaran hutan utuk pemukaan lahan baru dan mengakibatkakan dampak yang luar biasa untuk peradaban umat manusia dan alam semesta. Tidak hanya pohon sebagai paru-paru dunia saja yang musnah, namun satwa yang bernaung di dalamnya juga ikut musnah. Tak ayal jika suatu saat nanti mungkin anak cucu kita hanya dapat melihat kegagahan harimau sumatra, orang utan, badak bercula satu, burung Kaswari, dan satwa lainnya sekedar lewat gambar atau  mungkin yang lebih memprihatinkan lagi hanya melalui cerita dari mulut ke mulut.

Dampak yang lebih massive dari kerusakan hutan tersebut tentunya terhadap ketersediaan oksigen di muka bumi. Tanaman hijau merupakan produsen oksigen untuk kelangsungan hidup seluruh makhluk hidup, tidak hanya manusia saja namun juga flora dan flauna. Jika hutan musnah sedangkan tiap tahun populasi manusia selalu bertambah disertai dengan pertambahan aktivitas yang menyumbangkan polusi udara, maka konsentrasi karbondioksida di atmosfer ,menjadi tidak terkontrol. Jika hal tersebut terjadi bukan hanya krisis udara bersih dan sehat yang dialami oleh semua makhluk hidup, namun juga pemanasan global yang menjadi momok paling mengerikan bagi peradaban di muka bumi.

Kadar Karbondioksida (CO2) yang terakumulasi dengan beberapa gas lain seperti Metana (CH4) dari pembuangan akhir sampah, pertanian, pembakaran biomassa, perubahan tata lahan; Nitroksida (N2O) dari pembakaran bahan bakar fosil, industri, dan pertanian; Hidrofluorokarbon (HFC) dan Perfluorokarbon (PFC) dari industri manufaktur, industri pendingin (freon), penggunaan aerosol; Sulfurheksafluorida (SF6) dari transmisi listrik, penggunaan freon dan aerosol dapat mamicu terbentuknya efek rumah kaca yang memerangkap panas matahari ke bumi. Akibatnya suhu bumi meningkat, melelehnya es di kutub, naiknya permukaan air laut, dan bukan hal tidak mungkin jika kepulauan-kepualauan kecil yang ada tenggelam. Di samping itu, perubahan ekstrim dari iklim yang kita rasakan saat ini juga merupakan dampak pemanasan global yang sudah dapat kita lihat.

Kenyataan yang harus dihadapi kedepannya bahwa tiap tahun populasi manusia terus bertambah disertai dengan aktivitas mereka terkait dengan lingkungan. Jika populasi manusia semakin besar dan tidak diimbangi dengan etika dan pemahaman yang baik terhadap kepedulian lingkungan akan tercipta bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak terkait masalah kerusakan lingkungan hidup. Setiap hari manusia melakukan aktivitas baik aktivitas rumah tangga, pertanian, maupun industri. Dengan segala macam aktivitas yang dilakukan tentu memberikan dampak bagi lingkungan. Contoh sederhananya yaitu kebiasaan menggunakan daya listrik secara berlebihan, menggunakan kendaraan pribadi yang menambah kemacetan dan menambah emisi gas karbondioksida, aktivitas industri manufaktur yang menyebabkan polusi udara, menggunakan produk berbahaya untuk pertanian yang tidak ramah lingkungan, Serta masalah sampah yang tidak tepat penanggulangannya.

Isu lokal ataupun isu global yang mencuat tidak lepas dari peranan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Oleh karena itu kerusakan lingkungan hidup dapat diminimalisir dengan adanya perubahan pola tingkah laku. Dalam hal ini kesadaran diri sendiri akan pentingnya menjaga kelestarian alam menjadi kunci utama. Mengubah pola perilaku mungkin tak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, dengan upaya yang konsisten dari berbagai macam pihak bukan tidak mungkin terciptanya lingkungan yang lebih sehat dan berkualitas dapat terwujud.

Upaya perubahan pola perilaku tersebut telah dituangkan pemerintah dalam site projek yang diluncurkan di dunia pendidikan yang dikenal dengan istilah Sekolah Adiwiyata dengan dasar UUD No.32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Tujuan dari Sekolah Adiwiyata dipahami sebagai upaya pencegahan pencemaran, pencegahan kerusakan, dan pelestarian lingkungan hidup. Tiga pilar tersebut menjadi nilai dasar yang diintegrasikan dalam sendi-sendi pembelajaran.

Konsep Adiwiyata mempunyai makna lebih luas dari pada sekedar penghijauan di lingkungan sekolah namun lebih kepada bagaimana penanaman tiga nilai dasar Adiwiyata kepada peserta didik agar dapat tercipta karakter manusia yang peduli akan lingkungan serta memahami esensi dari menjaga planet tempat mereka bernaung. Implementasi dari nilai-nilai Adiwiyata dilakukan secara berkesinambungan dimulai dari bagaimana menumbuhkan kesadaran peserta didik untuk menjaga lingkungan hidup. Pemahaman yang tepat akan lingkungan hidup berupa gambaran bagaimana masa depan peradaban semesta dengan perilaku konkrit manusia yang semena-sema terhadap lingkungan dapat dijadikan bahan pelajaran di dalam kelas yang terintegrasi dalam perangkat pembelajaran. Dalam hal ini guru dapat mengambil salah satu isu lokal atau isu global yang sedang mencuat untuk dijadikan bahan literasi atau menyelipkan cerita akan fenomena alam dalam pembelajaran.

Tidak cukup hanya sampai memberikan pemahaman saja, guru juga dituntut memberikan contoh perbuatan nyata. Karena sejatinya guru merupakan sosok yang ‘digugu’ dan ditiru. Maka alangkah lebih bijak jika seorang guru ‘action first’ memberikan contoh pertama dalam hal pencegahan pencemaran, pencegahan kerusakan, dan pelestarian lingkungan hidup. Hal sederhana yang bisa dicontohkan yaitu membuang sampah pada tempatnya, menghemat penggunaan daya listrik, serta menjaga kebersihan lingkungan kelas. Dengan melihat kebiasaan dari sosok panutan dirapkan mengimbas pada kebiasaan sehari-hari mereka.

Langkah selanjutnya berupa pembiasaan mencintai lingkungan untuk peserta didik. Kegiatan pembiasaan ini dapat dilakukan dengan membuat jadwal piket kebersihan kelas, jadwal perawatan taman atau “green house”, serta kegiatan lain yang memicu peserta didik didik untuk mejaga lingkungan hidup secara kontinu. Kegiatan pembiasaan ini perlu adanya kontrol dari guru agar tujuan Adiwiyata yang telah dirumuskan dalam indikator pembelajaran dapat tercapai tengan tuntas.

Keberhasilan dari implementasi nilai-nilai Adiwiyata dapat tercermin dari perubahan perilaku peserta didik melaui serangkaian proses yang berkesinambungan. Peserta didik tidak hanya dicetak menjadi manusia yang intelek pada aspek kognitif, namun juga dibekali dengan “soft skill” untuk menjadi manusia yang peduli akan lingkungan dan menciptakan lingkungan yang ASRI (Aman, Sehat, Rapi, Indah). Selain itu, peserta didik diharapkan juga menjadi motor penggerak kesadaran peduli lingkungan hidup dan pengimbas perilaku cinta lingkungan terhadap lingkungan sekitarnya. Sesederhana apapun upaya untuk mencegah pencemaran, kerusakan, dan melestarikan lingkungan hidup akan memberi dampak besar ketika dilakukan secara massive oleh seluruh penduduk dunia. Bukanlah hal yang mustahil untuk menciptakan “better environment for better life quality” (lingkungan yang lebih baik untuk kualitas hidup yang lebih baik). (Jhon)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *