CB, BANYUWANGI – Pemkab Banyuwangi menargetkan sedikitnya tercipta 25 hektar sawah padi organik per tahun hingga tercapai 200 hektar pada 2020. Pengembangan pertanian organik ini dilakukan untuk memberi nilai tambah yang bisa memberikan penghasilan yang lebih baik bagi petani.
“Tidak mudah untuk mendorong pengembangan pertanian organik, karena sudah terlalu lama kita pakai pendekatan pupuk kimia. Nah, ini coba kita tanamkan ke petani bahwa peluang bisnis organik sangat besar. Dapat duitnya bisa lebih gede,” kata Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas saat panen raya padi organik di Desa Kalibaru Wetan, Kecamatan Kalibaru, Banyuwangi, Senin (10/4/2017).
Saat ini sudah terdapat tiga kelompok tani yang telah mendapat sertifikasi sebagai produsen beras organik. Produk organik itu dipasok ke sejumlah daerah bahkan hingga tembus pasar luar negeri, seperti China, Amerika Serikat, Qatar dan Belanda. Luas persawahan padi organik pada tahun 2017 ini mencapai 110 hektar yang teletak di sejumlah kecamatan, seperti Kalibaru, Glenmore, Genteng, Sempu, Singojuruh, Songgon, Kabat, dan Licin.
“Itu naik 30 hektar dibanding tahun lalu, yang baru 80 hektar. Ini sangat menggembirakan, artinya petani mulai sadar kelebihan pertanian organik. Selain hayati persawahan terjaga lewat pertanian organik, secara nilai juga lebih bagus karena harganya lebih mahal,” jelas Anas.
Mendukung kelompok tani yang mengembangkan beras organik, Pemkab Banyuwangi telah mengucurkan bantuan. Mulai dari rice transplanter (alat tanam padi) dua unit, mini combine harvester empat unit, hand tractor 13 unit, pompa air dua unit, pompa air dua unit, power trasher delapan unit, pupuk dan pemberantas hama organik serta bantuan alat pencacah pupuk organik (APPO), lahan percobaan, hingga membuka sekolah lapang bagi para petani.
Terkait panen raya padi organik di lahan seluas 20 hektar di Desa Kalibaru Wetan ini memang cukup istimewa. Selain hasil penanaman organik, prosesnya dilakukan mekanisasi. Mulai penanaman bibit padi, hingga panen padi menggunakan mesin panen.
Anas pun menyadari bahwa mekanisasi pertanian ini di satu sisi menguntungkan, namun juga menimbulkan tantangan lain, yaitu penyerapan tenaga kerja yang minim. “Salah satu solusinya adalah mengembangkan agrowisata. Seperti peluang membuka usaha kuliner organik di sekitar lokasi wisata atau mengajak wisatawan terjun ke sawah seperti yang sudah dilakukan beberapa kelompok di Banyuwangi,” lanjut dia.
Salah satu kelompok tani yang mengembangkan beras organik adalah Kelompok Tani Ketangi Santoso. Ketua kelompok tani tersebut, Mawardi mengatakan, pengembangan padi organik cukup mudah dilakukan jika dibandingkan dengan non-organik. Mawardi bersama 6 petani lain mulai beralih ke organik sejak 1,5 tahun setelah mendengar keunggulan pertanian organik.
“Biaya produksinya untuk organik ini tidak mahal. Kami saat ini pake bibit jenis baru, M400, perbatang bisa mencapai 400 bulir. Hasil panen kami juga dihargai 30 persen lebih mahal dibanding non organik. Jadi sangat menguntungkan,” jelas Mawardi.
Dia menambahkan ini merupakan pertama kalinya panen bibit jenis M400. Dengan menggunakan bibit ini, satu hektare bisa menghasilkan 7,7 ton. Bahkan apabila dalam kondisi iklim yang normal bisa mencapai 12 ton. Sehingga bagi petani lebih menguntungkan.
“Setelah kami coba rasanya sangat punel. Saat ini banyak kelompok tani di desa-desa lainnya yang berminat untuk memakai jenis ini. Karena itu bibitnya kami kemas untuk dikirim ke desa lain. Kami ingin menjadi desa organik. Sekarang memang baru 20 hektar yang tergabung, namun saya akan terus mengajak petani lain untuk mengembangkan,” jelasnya. (hum/imm)