CB, GRESIK – Memasuki era milenial beserta arus globalisasinya saat ini, Bangsa Indonesia dihadapkan dan sekaligus akan menyongsong 100 Tahun Kemerdekaan NKRI. Mengisi kemerdekaan adalah wajib bagi segenap tumpah darah Indonesia, namun tanggung jawab lebih pada pundak putra-putri terbaik bangsa saat ini dalam rangka mensukseskan cita-cita bangsa dengan mewujudkan masa emas kejayaan.
Bagi segenap tumpah darah Indonesia saat ini, mengingat perjuangan dan kegigihan para pahlawan kemerdekaan Indonesia, dengan besarnya pengorbanan jiwa dan raga yang tak terhingga nilainya selama berabad-abad, pentingnya mawas diri agar sadar dan mengerti siapa musuh dan apa tantangan yang dihadapi oleh bangsa ini.
Kemerdekaan NKRI, melalui para founding fathersnya telah mewariskan UUD 45′ sebagai dasar dan/atau kitab suci dalam keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan, ber-Bangsa dan maupun ber-Negara. Bagi penulis, sakralitas dari UUD 45′ yaitu yang sebagai roh atau nuraninya bangsa Indonesia, maka mutlak dan senantiasa wajib terjaga kemurniannya.
Menjaga warisan bangsa dan serta akan sangat melestarikannya ialah tidak hanya dengan menghafalkannya namun juga mengamalkannya. Menyambung artikel sebelumnya, bersama Pengusaha Muda Desa Pranti, Riyono Celuler Counter HP dan Service bertajuk seputar pengamatannya terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan beserta prilaku para pejabatnya, dikemas dalam diskusi ringan.
Menyampaikan pendapat di muka umum merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 45′, selain atas dasar itu, sesuai peran dan fungsinya professional pers media bahwa pada tiap momen kesempatan berinteraksi publik, dapat berlaku pula sebagai moderator guna membawa, mengarahkan dan/atau menciptakan suasana percakapan yang cerdas dan produktif layaknya diuniversitas.
Usai turun dari tempat ibadah, menjalankan kewajiban sebagai umat ber-Agama, bertempat diwarung kopi depan tempat usahanya, masih berbusana gamis, Riyono langsung memesan minuman, bersama pemilik warung, awak media Cahaya Baru, dan yang membuat menarik perbincangan ialah keberadaan pamong atau salah satu perangkat desa Pranti secara bersamaan.
Riyono, mengawali percakapan dengan melontarkan pertanyaan, bahwa harus bagaimana bersikap jika orang awam melihat prilaku penyelenggara pemerintah yang juga bernotabene sebagai seorang Kyai dengan ucapan yang berbeda seiring waktu, entah sengaja atau tidak.
Bagi awak media Cahaya Baru, tidak hanya skil atau kemampuan mencari, mengelola dan menyajikan berita, namun pengetahuan yang cukup memadahi agar memenuhi tanggung jawab utamanya yaitu mencerdaskan dalam berbagai warna dan tata kelola kehidupan ber-Bangsa dan ber-Negara. Senantiasa dituntut kesadaran pada tugas yang tidak terbatas waktu, ruang dan tempat, dihadapkan dengan berbagai karakter dan/atau kalangan manusia dari seluruh lapisan masyarakat.
Kyai adalah produk bangsa Jawa, Kyai beda dengan Ulama, jawab awak media, dan jika Ulama adalah produk Agama. Itu pun terdapat dua macam Ulama, pertama Ulama Warosatul Anbiya yaitu Ulama warisan/penerusnya para Nabi, dan yang kedua adalah Ulama Su’ yaitu Ulama yang justru menjadi musuh Agama oleh sebab sebagai misal perbuatannya yaitu me’remeng-remeng’kan yang haram dan mehalalkan yang ‘remeng-remeng’, tutur awak media melanjutkan.
Penuh dengan keterbatasan, apabila telah menjadi isu dikalangan ummat beragama bahkan berkembang serta mengarah pada krisis kekurang percayaan terhadap para pemangku kepentingan ummat, maka sebagai Muslim, penting awak media kemukakan sebagai pesan sekaligus pengingat bahwa akan menerima 3 konsekwensi jika tidak mempercayai keberadaan dan/atau kiprah dari para Ulama yang Warosatul Anbiya, yaitu Pemimpin yang dholim, Rizki yang tidak barokah dan Anak yang durhaka.
Beralih tema, masih berkutat pada proses penyelenggarahan pemerintah, Riyono Pengusaha Muda, kritis entah bermotif apa, beralasan mempunyai hak sebagai warga penduduk desa untuk dapat mengetahui apapun aktifitas pemerintah, khususnya pada simtem dan/atau kinerja pemerintah pada program bantuan dan model pendataannya, menurut pengamatannya masih banyak dan masive kesalahan dari penyelenggara program bantuan, ucapnya.
Tidak sedikit jumlah penduduk yang protes akibat kurang akurasinya data, dengan akibat pada penduduk desa yang jelas-jelas berhak menerima bantuan karena sangat miskin, mala beralih atau justru yang taraf hidup keluarga berpunya sebagai penerima bantuan, apalagi ditambah mental dan kekurang sadarannya bagi penerima program bantuan pemerintah yang terhitung orang kaya, masih saja mau menerima, kesal Riyono mengungkapkan.bersambung.(SUB)