Kalo boleh memilih, sebagian besar korban letusan Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang lebih memilih tetap tinggal di desa mereka. Ketimbang di tempat relokasi di desa Sumbermujur Kecamatan Candipuro.
Keengganan untuk untuk direlokasi itu terbaca dari pernyataan beberapa warga yg kini mendiami tempat relokasi. Keengganan untuk pindah itu juga terlihat dari kenekatan sebagian warga yang tetap saja kembali ke tempat asal mereka untuk bertani dan manambang pasir.
Untuk sementara ini memang belum ada larangan dari Pemkab Lumajang bagi warga terdampak untuk kembali ke desa mereka. Namun ijin itu hanya untuk bertani dan menambang pasir. Setelah selesai dari aktifitasnya warga tetap diminta untuk kembali ke tempat relokasi.
Nah di sini sulitnya, warga yang awalnya diijinkan datang untuk bekerja itu kebanyakan enggan kembali ke tempat relokasi. Selain faktor jarak yang cukup jauh, aktifitas seharian sangat menguras tenaga mereka. Faktor lain mereka memang lebih kerasan tinggal di desa mereka sendiri.
Ir Agus Widiarto, Asisten Administrasi Sekda Kabupaten Lumajang, membenarkan, pihaknya tidak melarang warga terdampak letusan Gunung Semeru kembali ke desa mereka untuk bekerja. “Tapi untuk kembali tinggal di desa terdampak kami melarangnya,” ujar Agus.
Larangan untuk kembali tinggal di wilayah terdampak itu menurut Agus, semata mata untuk keselamatan warga itu sendiri. Diingatkan kembali oleh Agus bagaimana dahsyatnya letusan Gunung Semeru pada tahun 2021 dan tahun 2022. Dari dua kali letusan itu Pemkab Lumajang tidak mau mengambil resiko membiarkan warganya menjadi korban keganasan Semeru.
Selain Semeru warga Lumajang juga terancam oleh dua gunung berapi lainnya. Yaitu Gunung Bromo yang ada di kawasan Probolinggo dan juga Gunung Lamongan. Hanya memang dari tiga gunung berapi itu Gunung Semeru lah yang paling berbahaya. Selain tingkat keaktifannya, letak Gunung Semeru memang ada di wilayah Lumajang.
Sementara Gunung Lamongan sudah lama tertidur lelap. Terahir gunung ini meletus tahun 1898. Namun bagaimanapun potensi gunung ini kembali meletus tetap ada.
Sedangkan Gunung Bromo masih aktif dan sewaktu waktu bisa menjadi ancaman. Jadi tetap diwaspadai.
Sebenarnya tempat relokasi warga terdampak yang terletak di desa Sumbermujur, sangat layak untuk dihuni. Tempat relokasi ini oleh warga disebut rumah bencana. Mungkin maksudnya karena rumah itu diperuntukan untuk mereka yang korban bencana.
Rumah tempat relokasi warga terdampak ini terbagi menjadi dua. Yaitu hunian tetap (huntap) dan hunian sementara (huntara) Huntap dibangun oleh Kementerian PUPR sedangkan huntara dibangun oleh NGO.
Dari 1951 rumah (huntap dan huntara) sudah ditempati oleh 1924 kepala keluarga. Meski sudah hampir terisi penuh, huntar dan huntap tetap saja kelihatan lengang. Ini karena sebagian keluarga yang sudah terdaftar menghuni tempat relokasi itu, lebih banyak beraktifitas di tempat asal mereka.
Warga korban bencana itu tetap nekat kembali beraktifitas dan kembali tinggal di desa asal mereka meski sudah dilarang, karena di tempat relokasi mereka sulit mencari pekerjaan.
Di tempat adanya para warga terdampak masih bisa bertani dan menambang pasir. Tidak main main, untuk penambang pasir warga bisa mendapat penghasilan 300 ribu rupiah hingga 500 ribu rupiah. Inilah yang membuat mereka nekat untuk kembali ke desa mereka.
Sementara di huntap dan huntara mereka tidak bisa berbuat banyak untuk menafkahi keluarga mereka.
Warga yang tetap bertahan di huntap dan huntara terpaksa membuka usaha kecil kecilan untuk bisa menyambung hidup.
Alim misalnya, buka usaha jualan martabak dan terangbulan di depan rumahnya. Alim memilih jualan martabak karena rumahnya di Supit Uramg hancur tekena guguran Gunung Semeru. Dan Alim tidak punya cukup uang untuk memperbaiki rumahnya.
Lain lagi dengan Sumiati, dia berjualan gorengan dan minuman ringan di rumahnya di huntap. Hidup menjada membuat Sumiati harus bertahan di huntap.
Tinggal di huntap dan huntara bagi warga terdapak terpaksa harus mereka terima. Mereka harus pandai pandai menyesuaikan diri hidup di lingkungan baru. Banyak masalah yang mereka hadapi tinggal di huntap dan huntara. Selain masalah pekerjaan juga ketersediaan air bersih yang masih sangat kurang.
Mau bertani, tanah yang ada disekitar lingkungan baru mereka tergolong kurang subur. Hanya jagung yang bisa ditanami, itupun hasilnya masih jauh dari yang diharapkan (yit)